News

Tak Sebatas “Selamat Hari Kartini”

Sebarkan:

 Penulis : Sitifatima Abubakar

Opini, ST - Setiap tanggal 21 April, linimasa dipenuhi dengan kalimat “Selamat Hari Kartini”, dilengkapi dengan potret kebaya serta ucapan penuh harapan. Peringatan hari kartini yang seringkali identik dengan kebaya, sejatinya memiliki makna yang mendalam lebih dari sekedar seremoni. Memang tidak ada yang salah dengan hal itu, namun jangan sampai keriuhan berkebaya, menutup esensi Semangat Perjuangan Kartini.

Jangan biarkan Hari Kartini sebatas pada formalitas ucapan semata. Sebab, Kartini bukan hanya sosok perempuan, ia adalah simbol dari suara yang menolak bungkam, pena yang melawan tembok dan juga pikiran yang menolak terkurung.

Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau R.A Kartini lahir dari keluarga ningrat keturunan Jawa yang hidup pada masa feodalisme merajalela, kedudukan perempuan waktu itu sangat dipengaruhi oleh feodalisme dan adat. Selain itu, Budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai kaum terbelakang. Sekolah yang hanya di anggap penting untuk kaum laki-laki, sementara perempuan kalangan pribumi hampir tidak memiliki akses pendidikan formal.

 Perempuan hanya bisa sekolah hingga usia 12 tahun. Setelah itu, akan dipingit dan menunggu waktu untuk menikah. Kartini sosok perempuan cerdas yang haus akan ilmu. Meskipun dipingit, ia tidak berhenti belajar. Melalui buku-buku yang dibaca, menulis, dan juga bertukar surat dengan teman-teman korespondensinya di Belanda, ia terus berdiskusi tentang pendidikan, kebebasan dan masa depan perempuan. Dengan ini, Kartini mulai menyadari bahwa perempuan pribumi sangat tertinggal jika dibandingkan dengan bangsa lain, terutama Eropa.

Pemikirannya yang visioner menjadikan ide-idenya sebagai “senjata”, karena ia sadar bahwa budaya feodal yang dilestarikan oleh kolonialisme adalah sebuah pembodohan bangsa. Sejak saat itu, Kartini mulai memberikan perhatian khusus pada masalah emansipasi perempuan serta menaruh perhatian pada masalah sosial. Menurutnya, seorang perempuan pribumi juga harus memiliki hak yang sama dengan laki-laki perihal pendidikan, otonomi, dan kesetaraan hukum.

Kartini mendedikasikan intelektualitasnya, gagasannya dan perjuangannya untuk mendobrak ketidakadilan yang dihadapi.

Pemikiran-pemikirannya mengenai emansipasi perempuan atau persamaan hak perempuan pribumi dianggap sebagai hal baru yang bisa merubah pandangan masyarakat. Kumpulan tulisannya pula akhirnya disusun menjadi sebuah buku yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang terbit pada tahun 1911. Tulisan tersebut berhasil merubah pola pikir masyarakat terutama kaum Belanda terhadap perempuan Pribumi.

Berkat perjuangan Kartini, kini perempuan Indonesia memiliki kebebasan untuk mengenyam pendidikan tinggi. Selain itu, perempuan juga memperoleh hak yang sama dengan laki-laki dalam hal otonom dan kesetaraan hukum. 

Sayangnya, perjuangan Kartini tampak belum benar-benar berakhir. Reformasi yang melahirkan kebijakan publik ramah perempuan pun nampaknya belum optimal. Affirmative action dalam dunia politik juga belum mencapai hasil maksimal, baik diukur dengan kualitas dan kuantitas keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga politik. Kualitas produk politik perempuan juga masih dipertanyakan. Di era modern ini masih banyak perempuan yang merasakan penindasan dan ketidakadilan. Kasus kekerasan seksual yang masih terus terjadi, dengan banyak korban yang belum mendapatkan keadilan yang layak. 

Hal ini menunjukkan bahwa, semangat Kartini bukan sekadar dikenang melainkan harus terus hidup dalam bentuk aksi nyata melawan ketidakadilan. 

Hari Kartini mestinya dijadikan sebagai simbol sekaligus momentum untuk melakukan perubahan secara terus-menerus. Mengutip apa yang menjadi simbol keberanian Kartini bahwa,

“Barang siapa yang tidak berani, dia tidak akan menang, itulah semboyanku! Maju! Semua harus dimulai dengan berani, pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia!”.

Semangat Kartini adalah lentera yang tak boleh padam. Selamat Hari Kartini.!

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini