Ketua Umum Formmalut Jabodetabek, M. Reza A. Syadik
Jakarta, ST - Tindakan seorang kepala daerah, dalam hal ini Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda yang menggunakan hotel miliknya sendiri sebagai tempat pelaksanaan kegiatan resmi pemerintahan, seperti Musrenbang RKPD, menimbulkan tanda tanya besar terkait etika dan integritas kepemimpinan publik.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Forum Mahasiswa Maluku Utara (FORMMALUT Jabodetabek), M. Reza A. Syadik, kepada awak media Jumat (25/04/2025).
Kata Reza, penggunaan hotel pribadi dalam kegiatan pemerintahan bukan hanya menimbulkan kesan buruk di mata publik, tetapi juga membuka ruang bagi praktik konflik kepentingan.
Lanjutnya, dalam prinsip good governance, seorang pejabat publik semestinya menjaga jarak yang tegas antara urusan bisnis pribadi dan kewenangan publik yang diemban. Ketika seorang gubernur “memaksakan” penggunaan fasilitas pribadi dalam agenda pemerintahan, maka ada kesan bahwa kekuasaan digunakan untuk keuntungan pribadi.
Reza juga sesalkan bahwa, tindakan ini juga berpotensi menyalahgunakan anggaran negara, karena biaya sewa yang dibayarkan berasal dari dana publik dan berputar kembali ke kantong pribadi. Hal ini merugikan asas keadilan dan kompetisi sehat bagi pelaku usaha lain di daerah tersebut, yang seharusnya juga punya kesempatan yang sama untuk menjadi mitra penyelenggara acara resmi.
"Lebih jauh lagi, hal ini mencoreng kepercayaan publik. Kami berhap pejabat publik untuk mengedepankan kepentingan rakyat, bukan menjadikan jabatannya sebagai dalang dari praktik bisnis terselubung. Jika dibiarkan, praktik semacam ini akan menjadi preseden buruk bagi tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan," katanya.
Maka dari itu, Ketum Formmalut menyampaikan, penting bagi aparat pengawas internal pemerintah maupun lembaga independen seperti KPK untuk menelusuri lebih lanjut praktik semacam ini, demi menjaga etika jabatan publik dan memastikan bahwa kekuasaan digunakan untuk kepentingan rakyat, bukan pribadi.
Dirinya menduga, dalam kegiatan pemerintahan, mustahil tidak melibatkan anggaran daerah, meskipun tempat tertentu seandainya dikatakan gratis. Tetap ada biaya lain yang melekat yang dibiayai APBD. Jika dana tersebut kemudian tetap berputar ke unit usaha milik pejabat atau keluarganya (langsung/tidak langsung), maka unsur "menguntungkan diri sendiri atau orang lain" sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Tipikor tetap bisa terpenuhi.
"Lebih jauh, UU No. 30 Tahun 2014 menegaskan bahwa pejabat wajib menghindari situasi di mana keputusan atau tindakan administrasi berpotensi mengandung kepentingan pribadi. Bahkan ketika tidak ada kerugian negara, kecurigaan publik terhadap adanya niat tersembunyi sudah cukup menjadi dasar pengawasan atau investigasi," terang Reza.
Ia menuturkan, bahwa seharusnya setiap kegiatan pemerintahan dilakukan di tempat yang netral, terbuka, dan bebas dari afiliasi bisnis pribadi pejabat publik, untuk menjaga marwah jabatan dan menghindari krisis kepercayaan dari masyarakat. (Tim/Red).